Saturday, August 13, 2016

Memanusiakan Manusia



Hampir satu bulan usahaku mencari asisten rumah tangga bagi sahabatku belum membuahkan hasil. Sahabatku saat ini benar-benar kewalahan, maklum anaknya yang berjumlah tiga orang umur lima, delapan dan sepuluh tahun masih butuh pengawasan dan bimbingan lebih. Belum lagi pekerjaan rumah yang tak habis-habis begitu menyita waktu dan tenaga.
Setiap hari dia sendiri yang harus mengantar anak-anak kesekolah, kebetulan suami sahabatku berprofesi sebagai kapten kapal yang tidak dapat setiap saat mendampingi keluarganya.

Setelah menikah sahabatku memutuskan untuk mengurus rumah tangga saja ketimbang berkarir. Bagiku itu keputusan yang luar biasa mengingat dia tipe wanita yang gigih bekerja. Walaupun dia terlahir dari keluarga yang sangat Kaya. Kisah sahabatku di suatu pagi via handphone membuatku sangat prihatin “ Coba bayangkan dantong (panggilan dekat kami) melipat pakaian saja bisa saya lakukan dari pagi hingga sore, baru pakaian-pakaian itu bisa tersusun rapi di lemari “. Waw aku tak dapat membayangkannya sahabat, pikiranku justru terfokus dimana aku dapat menemukan orang yang akan membantunya sesegera mungkin.

Awalnya kami berusaha mencari orang dari satu suku tertentu, katanya sih bisa dipercaya dan siap mengabdi sampai kapanpun. Masa iya hari gini masih ada yang mau mengabdi begitu lama dan sesetia itu. Alhasil ketakutanku terbukti, dan akhirnya kami pun sepakat untuk menerima siapapun yang bersedia bekerja asal jangan baru beberapa hari kerja sudah minta dipulangkan dengan alasan rindu sama orang tua atau saya mau pulang saja, karena rumah ibu sepi sekali. 
Kata sahabatku “ nanti saya belikan petasan supaya ramai “. 

Saat ini sangat sulit menemukan orang yang mau dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga. Kalaupun ada mereka akan mengajukan berbagai persyaratan yang kadang tidak masuk dalam rumus perumah tanggaan. Minta gaji tak kurang dari Rp. 1.200.000, mereka minta tak ikut andil dalam mengurus anak-anak apa lagi bayi. Pada hari minggu minta bebas dari tugas rumahan. Setelah itu mereka akan menanyakan berapa jumlah orang yang tinggal dirumah tersebut, ada berapa kamar, berlantai satu atau bertingkat? Waaah sudah seperti sensus penduduk dong kalau begitu. Menerima pegawai kantoran saja si pelamar yang akan diinterview tentang hal-hal menyangkut tanggung jawab , kemampuan dan skill si pelamar. Eh ini si calon pekerja yang malah meng interview calon majikan. Bener-bener daaaaaah.

Ketika hari menjelang malam sahabatku itu kembali menghubungiku via handphone. Suaranya terdengar gembira, dia mengabarkan telah mendapatkan orang yang akan membantu meringankan tugas-tugasnya. Syukurlah….Padahal aku baru akan mengabarinya kalau aku telah memesan pada seseorang mahasiswa Flores untuk mencarikan aku seorang yang mau bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Belum cukup seminggu sahabatku itu kembali menelfon “ Dantong anak itu minta pulang, saya pasrah. Dia tidak mau disuruh-suruh ", dan katanya lagi, " Kalau mau kerja pekerjaan rumah ji mending saya bantu-bantu mamakku di rumah ” .

Memang mahal harga memanusiakan manusia. Dan sebagai manusia yang beradab sebaiknya kita kembali balajar tentang hidup pada ibu kita. Ibu kita dahulu membesarkan kita dengan tangan mereka sendiri, harapan seorang ibu kelak anak-anak mereka akan mandiri, dan mampu menopang kehidupan mereka dengan baik dan mapan. Hasilnya adalah kita, ibu zaman sekarang. Diantaranya ada yang memutuskan untuk mengurus rumah tangga, ada pula yang memilih berkarir dengan konsekwensi  tidak membesarkan anak-anaknya sendiri tapi memakai jasa beby sitter, asisten rumah tangga , atau ada juga yang masih minta pertolongan dan bantuan orang tua mereka. Setelah anak kita besar dan mandiri nantinya. Kita akan sama-sama menunggu dan melihat apa yang menjadi keputusannya kelak dalam membesarkan anak-anak mereka. Mari semoga kita masih diberi kesempatan untuk menyaksikan semuanya.

No comments:

Post a Comment

Mohon saran atau apresiasinya :)