Thursday, August 11, 2016

Rina (4)



“ Kemarilah, aku tolong bersihkan rok mu dari lumpur, nanti nenekmu lihat dia pasti akan marah besar “. Rina menolongku melepas rok merah hati yang basah dan kotor oleh lumpur. “ Lantas aku pakai apa, masa hanya bercelana dalam? Kalau ada yang lihat bagaimana? “.
 Cegahku menahan rok yang mulai dilepas. “ Tidak akan ada orang yang lewat, sawah-sawah telah usai panen. Untuk beberapa lama sawah akan dibiarkan  oleh pemiliknya. Hingga tiba waktu yang tepat untuk dibajak ”. Jelas Rina sambil terus melorotkan rokku. Akupun pasrah mengikutinya dengan rok merah hati ditangan menuju sungai kecil yang berada di bawah batang paraweh. Sejuknya air sungai menghilangkan sedikit rasa takut dan cemasku dimarahi Nenek.

Rok merah hati telah dibentang Rina di atas rumput. Sungguh nyaman dan sejuk duduk berteduh di bawah batang paraweh. Penat kami jadi hilang, mata kami serasa disapu-sapu angin.

Sambil menunggu rokku kering Rina berayun-ayun di dahan batang paraweh yang panjang terjuntai hampir mencapai sungai kecil di bawahnya. Sementara mataku terus saja menyapu seluruh dahan paraweh kalau-kalau masih ada sisa jambu biji tertinggal yang luput dari pandangan orang yang telah mendahului kami. “ Malang nian nasibku, sudahlah jatuh yang dicaripun tak dapat “.  Kataku sedikit menyindir Rina.”Tiga hari lalu aku ke tempat ini Dar, jambunya banyak dan gadang-gadang (besar-besar)”. Kata rina berusaha membela diri. “ Kenapa kau tak mengambil jambu-jambu itu ? ”. Potongku mulai curiga. “ Aku mengambil semuanya saking banyaknya aku menjual beberapa buah sebelum berangkat mengaji ke surau ". Jelas Rina, senyumnya tampak riang berbeda dari biasa. “ Hmmmm, pantas saja kau tak menyisakan sedikitpun. Kau pikir Jambu batu  seperti ayam bertelur ? Kemarin telurnya kau ambil, keesokan harinya ayam yang sama akan bertelur lagi”. Sungutku lagi merasa di bodohi.

“ Janganlah marah darni, nanti di jalan menuju pulang kita akan singgah di parak (Kebun) si Sindai ( Kuntilanak berambut panjang), bukankah kita sudah lama tidak ke sana? Buah murbei pasti sudah lebat”. Rina berusaha menghiburku. Dia tau betul aku sangat menyukai buah berwarna merah dan bertekstur lembut mirip buah strawberry. Terbayang harumnya buah manis itu saat pertama kali kami kesana. Begitu melihat banyaknya buah murbei yang jatuh di tanah maupun masih melekat dibatang-batang murbei yang menjalar. Rasa takutku hilang seketika. Yang tersisa hanya rasa bahagia dan merdeka sebab hanya kamilah yang bisa memiliki buah-buah itu. Kami selalu yakin buah itu akan senantiasa lebat. Parak si Sindai terletak tidak jauh dari akses jalan pulang ke rumah kami. Tapi cerita yang melegenda dari mulut-kemulut bahwa orang-orang sekitar selalu melihat sosok perempuan berambut panjang berayun-ayun sehingga tempat itu jarang didatangi orang. Rambut si Sindai yang sangat panjang dijadikan tali ayunan dan terkait disalah satu dahan pohon mangga bacan yang paling tinggi. 

Semula aku enggan dan takut diajak Rina ke parak itu , tapi teman kecilku meyakinkan bahwa tak ada hal yang mengerikan di parak si Sindai. Selain begitu banyak pohon murbei yang tumbuh dengan buah yang ukurannya lebih bisar dari biasa. Kata Rina lagi, “ Aku dan ayahku juga pernah keparak itu beberapa kali untuk mencari bahan ramuan obat dan kayu bakar, tapi kami tak pernah liat si Sindai “. hmmm diam-diam aku begitu kagum dengan keberanian temanku Rina. Saking kagumnya, aku kerap lupa kalau sering pula di bodohi :)

No comments:

Post a Comment

Mohon saran atau apresiasinya :)