Sunday, August 7, 2016

Rina (3)


“Darni cepatlah nanti kita keduluan orang !!”, teriak Rina tanpa menoleh padaku yang sangat letih dan tertinggal jauh di belakangnya. Dalam hati aku sedikit kesal, katanya tadi tempat baru yang mengasyikkan itu sangat dekat. Buktinya matahari kini sudah tinggi, panansnya sampai terasa di puncak ubun-ubun tapi kami belum juga sampai di tempat yang dituju.


Rina begitu lincah berjalan di pematang sawah. Ia melompat layaknya Kancil dari pematang satu ke pematang yang lain. Persawahan yang kami jalani mulai menurun. Dari kejauhan sawah yang luas membentang tersusun rapi tampak seperti petak-petak anak tangga berwarna hijau dan coklat tua.Suasana yang begitu tenang sangat terasa. Hanya kicauan burung belibis dan bangau putih yang riang berpesta mengasup ikan kepala timah yang berenang-renang kesana kemari dalam genangan air sawah yang sangat jernih. Sayang sekali saat itu petani telah usai panen. Andaikan saat kami datang hamparan sawah tengah menguning pasti suasananya akan lebih indah lagi. 

Sesekali sambil menantiku yang masih berupaya menyusulnya, Rina membasuh wajahnya dengan air bandar yang mengalir  amat jernih. Waaah, pasti segar sekali. Aku pun meniru apa yang dilakukan Rina. “ Rina!!kenapa airnya berbau? ”. Teriakku sambil menyeka air yang membasahi wajahku,  temanku itu malah tersenyum dengan  senyum khasnya yang seperti dipaksakan. “Perhatikan baik-baiklah air yang kau pakai, aku tadi mebasuh muka dengan air bandar yang mengalir bukan air sawah tergenang “. Teriak Rina dengan kaki kiri yang diayun sambil menyepak-nyepak air bandar. Aku memperhatikan air yang kugunakan  untuk membasuh muka, hmmm memang benar air sawah yang tergenang dan kelihatan sangat jernih tapi pada bagian lain ternyata  ada tahi kerbau yang sudah mengendap. “ Aaaaah mana ku tau kalau air itu kotor, tapi mengapa kau membiarkan saja aku membasuh muka dengan air kotor? “.  Sungutku mencari alasan menyudutkannya. “ Makanya jalanmu dipercepat, supaya kau tidak terlalu jauh dari pandanganku”. Teriak Rina sambil terus berjalan kemudian turun ke pematang yang lebih rendah, tubuhnya mulai tak tampak olehku, aku sedikit berlari menyusulnya.

 “ Darniiiii……tempatnya sudah nampak, kau lihat batang (Pohon) paraweh ( Jambu Biji) di tengah sawah itu? Kita hampir sampai !!!“. Teriak Rina. “ Jangan cepat-cepat Rinaaaaa, pematangnya  licin sekal……..!!!!!!”. Belum sempat kalimatku selesai, pematang yang licin membuat keseimbanganku hilang, aku tergelincir. Pantatku menghantam bibir pematang lalu terus meluncur ke bawah dan mendarat dengan sukses di sawah yang masih digenangi air. Alangkah khawatir dan takutnya  aku saat itu, bukan sebab rasa kaget dan sakit di pantat. Tapi karna setengah bagian tubuh dan rok merah hatiku terbenam dalam kubangan lumpur. Aahhhhh terbayang wajah nenekku. Apa yang harus kukatakan nanti ??? Kulihat Rina berlari dengan cemas ke arahku.(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment

Mohon saran atau apresiasinya :)